Dunia Kelam Dunia Hina - Tatapan Api

Hai Nv's Visiters! Selamat datang ^_^


Bagaimana hubungan kalian dengan teman, sahabat, dan pacar kalian? Apa baik baik saja? Ataukah kalian sedang memiliki masalah dengan dia? Semoga kamu yang sedang marahan dengan teman, sahabat, ataupun pacar cepat bermaafan ya..


Langsung saja yaa, kali ini Nanta akan membagikan cerpen karya teman saya. Tenang... udah izin kok sebelumnya sama yang empunya cerpen.


Oke, Selamat Membaca... (^_^)




   Dunia berada di ujung tanduk saat kejahatan merebak disetiap penjuru bumi. Kemaksiatan dipandang hal yang lumrah dilakukan. Perzinaan, perjudian, dan pencurian bukan lagi menjadi hal yang tabu. Pemimpin negara pun tidak lagi bijak, hanya ada keserakahan tersisa yang menindas kaum-kaum marginal. Jikalapun ada seseorang bijak, mereka hanya pemain di belakang layar yang tidak sanggup mengubah sistem tatanan dunia.

     Dunia yang kelam dunia yang hina.

****
            Langit berwarna jingga ketika Ahmad Alwi, seorang pemuda berkulit sawo matang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an di hamparan lantai kayu masjid sembari menunggu waktu maghrib. Suara merdunya menyelimuti setiap sudut masjid yang belum terisi banyak orang. Sesekali Alwi mengedarkan pandangannya mencari tanda kehidupan para santri. Sepi. Dua hari belakangan ini masjid menjadi lenggang dari aktivitas santri. Entah apa yang terjadi.

          Alwi bangkit dari pertapaannya saat matahari yang berada di ufuk barat hampir tergelincir menghilang. Kakinya yang tanpa alas melangkah mendekati speaker. Lantai-lantai masjid berdecit ketika Alwi menjejakan kakinya.

           Terlihat kesuraman di mata Alwi, memancarkan kesedihan yang tidak dapat ditutupi bagi siapapun yang melihatnya. Alwi sedih bukan karena melihat masjid sepi dari santri, nanun ada hal yang lain yang sulit untuk dijelaskan, bahkan untuk dirinya sendiri pun.

          Langit terang berganti gelap. Terdengar suara adzan yang dikumandangkan Ahmad Alwi menggema di setiap sudut pesantren Al-Muhajirin, memanggil setiap insan untuk tunduk kepada penciptanya. Perlahan dan tetap perlahan, para perindu surga mulai keluar dari persembunyiannya, memasuki masjid dan mulai memenuhi tempat yang sempat kosong.

****
           Sesak nan pengap, begitulah keadaan suatu pasar yang terasa seperti kubangan babi, kotor. Genangan air coklat bercampur lumpur terlihat sejauh mata memandang. Lalat-lalat hijau berterbangan di antara dagangan yang sama sekali tidak terurus, seolah meminta belas kasih para pedagang untuk memerhatikannya sedang pedagang tidak tau menau dan tetap melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

             Uang demi uang mengalir dari tangan pembeli ke pedagang meskipun hari dapat dikatakan tidak lagi cerah. Terkadang terjadi tawar menawar antar pedagang-pembeli yang pada akhirnya pedagang harus mengalah dan kalah. Tapi tidak jarang pula para pedagang yang kekeh mempertahankan harga, bahkan sampai naik pitam pun dilakukan. Jika sudah seperti itu, pedagang dan pembeli lebih terlihat seperti kucing dan anjing yang bertengkar merebutkan makanan.

        Sementara di lautan manusia tampak seorang pemuda mencoba keluar dari kerumunan, ditangannya tergantung dua kantong plastik besar berisi makanan yang malah membuatnya sulit bergerak. Ditambah lagi lipatan-lipatan lemak yang bergoyang ketika pemuda itu menyenggol orang lain.

               Pemuda itu sulit bergerak. Dia harus berusaha sekuat tenaga hanya untuk sekadar melangkah. Pemuda yang malang, Ramdhan Ahkam.

              Wajah Ahkam melukiskan kepanikan. Keringat meleleh dipipinya yang tembem menambah bau pasar yang sudah seperti kandang ayam. Seharusnya Ahkam pulang beberapa jam lalu. Peraturan di pesantren tempatnya menimba ilmu mewajibkan setiap santri untuk pulang selambat-lambatnya pukul lima sore. Tetapi karena ada suatu hal yang membuat Ahkam harus perang mulut, ditambah sesaknya pasar. Ahkam pun terlambat.

             Detik demi detik, menit demi menit, akhirnya Ahkam berhasil keluar dari kerumunan. Walaupun demikian Ramdhan Ahkam tetap terlambat. Sungguh hari yang berat

****
             
              Seperti ada sesuatu yang menggantung di lehernya ketika sehelai kain sorban terulur ke badan seorang pemuda berperawakan tinggi, Zayn Ridwan. Ini adalah kali pertama Zayn mengenakan sorban. Tak henti-henti senyum terulas seperti baru mendapat hadiah baru.

               Kilat mata Zayn memandangi setiap sudut masjid. Mencari cari-cari batang hidung temannya, Ramdhan yang belum juga terlihat. Dan mungkin tidak akan terlihat.

****

          Sampai kapanpun Ramdhan tetap terlambat meski sekarang ia telah sampai tepat didepan gerbang. Dipandanginnya pos penjaga, melirik sedikit demi sedikit untuk mencari tahu siapa penjaga pintu maut. Ustadz Maul ternyata. Maul si Maut.

                Semangat Ramdhan langsung kendor. Wajahnya berubah pucat seperti mayat. Ustadz maul dikenal sebagai ustadz galak. Tidak, bukan galak tetapi tegas maksudnya. Siapapun yang datang terlambat pasti akan menghadapi malakait maut yang siap menebas ketika Ustadz Maul berjaga. Tidak dapat dipungkiri, Ramdhan memang menghadapi hari yang berat.

              Melangkahlah kaki Ramdhan menuju Si Maut sembari kepalanya menunduk. Bukan menunduk malu, lebih karena takut melihat mimik wajah Ustadz Maul. Ramdhan sudah bisa membayangkan bagaimana saat wajah Ustadz Maul berkerut setiap sentinya dengan mata melotot, alis terangkat tajam dan mulut yang siap menyemburkan kata-kata pedas.
“Tidak sholat Tad?” Ada udang dibalik batu. Ramdhan berkilah coba mengalihkan perhatian Ustadz Maul. Padahal Ramdhan tahu itu akan sangat sulit.
“Belum, menunggu di masjid selesai. Juga menunggu kamu.” Seketika hati Ramdhan mencelos. Benar apa yang ditebaknya. Sulit sekali.

            Bodoh, pikirnya. Jelas-jelas Ustadz Maul tidak akan meninggalkan pos begitu saja. Sungguh sia-sia apa yang telah Ramdhan lakukan. Hal itu hanya membuat ketakutan Ramdhan bertambah setiap detiknya.
“Kenapa kamu menunduk terus? Tatap ustadz!” inilah saatnya. Ramdhan mendongak menatap Ustadz Maul, siap menerima satu pidato panjang.

                Ingatan Ramdhan berputar kemasa lalu, saat-saat dimana Ramdhan pertama kali dimarahi Ustadz Maul. Saat itu Ramdhan juga telat. Bersama Zayn, Ramdhan dihujam kata-kata yang memanaskan telinga. Ramdhan sangat malu, ditambah lagi waktu itu anak Ustadz Maul melihat kejadiannya dengan jelas, Asfhan Nada.

                Ramdhan masih ingat betul ketika Nada, seorang perempuan bercadar seumuran berdiri dipojok ruangan menatap dirinya. Entah simpati atau apa, yang jelas Ramdhan sangat malu saat itu.
“Ramdhan! Kenapa melamun? Kamu itu. . .” Pidato panjang kedua dimulai, kali ini Ramdhan menyimak.

****
                Sudah lebih dari dua jam sejak waktu maghrib berlalu. Kegelapan mengusir cahaya langit seluruhnya, membawa hawa dingin untuk ikut bersama membuat malam. Bintang-bintang bertaburan bagai kunang-kunang diatas cakrawala, ditemani sebuah lampu besar yang tergantung lepas tanpa tali.

                Ahmad Alwi duduk termenung di pinggir danau, memeluk salah satu kakinya sedang yang lain ditergantung bebas. Disandarkan punggung Ahmad ke sebuah pohon yang mengeluarkan gemerisik ketika angin menerpa dedaunan. Mata Ahmad menatap lekat kehampaan. Pikirannya melayang ke setiap kejadian yang berlalu.

                Cahaya bulan terpantul bias di air danau yang sesekali beriak. Suara binatang-binatang malam menambah kesyahduan. Jangkirik dan kawan-kawannya seolah tahu apa yang sedang dibutuhkan Ahmad.

                Pikiran Ahmad sudah mengambang jauh. Saat dimana Ahmad dikabarkan bahwa ayahnya meninggal. Padahal baru seminggu yang lalu Ahmad menguhubungi ayahnya lewat telepon. Tetapi kabar tadi pagi membuatnya seolah tidak percaya. Hatinya terpukul. Ahmad masih ingat jelas kenangan-kenangan manis yang sempat ia lewati bersama ayahnya sebelum berpisah pergi untuk menuntut ilmu. Matanya panas, air mata mulai berjatuhan.

                “La Tahzan1 kawanku.” Sebuah suara muncul dari kegelapan membuat Ahmad kaget dan menghapus air matanya.

                “Aku tahu apa yang kamu rasakan. Dulu aku seperti dirimu.” Sosok Zayn Ridwan muncul dari balik kegelapan. Wajahnya yang tersorot cahaya bulan purnama mengurai senyum dari bibirnya yang bagai asam seulas.

                “Bangkitlah! Jangan larut dalam kesedihan.” Ridwan melanjutkan sementara Ahmad terdiam seribu bahasa. Dipikiran Ridwan melayang memori-memori masa kecil ketika ia harus menghadapi cobaan seperti Ahmad. Hampir saja Ridwan menangis sampai-sampai sebuah suara kembali terdengar. “Benar sekali. Kesedihan hanya membawa bencana”

                Alwi masih mencerna semua suara yang tedengar.

                “Setuju. Inallaha Ma’ana2” sebuah suara menyahut. Muncul sahabat sejati Ridwan, Ramdhan Ahkam bersama temannya yang lain, Said Mukhtar, seorang pemuda berperawakan tegap bak seorang tentara. Langkah kaki Said tegas, begitu sesuai dengan sorot matanya.

                “Setiap pintu tertutup akan ada jendela yang terbuka.” Ramdhan menambahkan. Udara terasa lebih hangat bagi Ahmad ketika teman-temannya datang menghibur. Kesedihannya perlahan menghilang seiring semangatnya yang semakin bertambah ketika mendengar perkataan teman-temannya.

                “Bersabarlah.”Suara asing muncul. Hanya Ahmad Alwi yang mendengar. Teman-temannya tidak.

                “Jangat takut.” jelas, Alwi mendegar jelas. Tidak berhalusinasi.

                Belum sempat Alwi mencari sumber suara asing, terlihat setitik cahaya terang terkumpul di tengah danau. Sangat terang, membuat Alwi harus menghalangi pandangannya dengan tangan. Ramdhan yang melihatnya juga kaget, otaknya langsung memberikan perintah untuk lari. Namun entah kenapa langkah Ramdhan menjadi berat. Begitu pula yang lain.

                Said terpaku tidak bergerak sedikitpun. Perlahan cahaya membentuk sosok manusia. Udara menjadi pengap ketika Said mencoba berlari. Langkahnya sangat berat, kemudian pandangannya kabur. Begitu juga yang lain.

                “Tenang saja,” semua orang mendengar, tetapi masih tidak bisa bergerak.
                “Apa ini?” Ridwan berkata dengan suara parau karena takut.
            “Janganlah kalian takut.” keadaan sekitar berubah menjadi hampa. Pandangan Alwi dan kawan-kawannya kembali jelas. Alwi dapat melihat dirinya berada di suatu tempat yang kosong dan benar-benar kosong. Hanya ada latar belakang putih yang terbentang tanpa ujung.
                “S-siapa kamu?” Ridwan kembali bertanya. Sekarang dia sudah dapat bergerak.
                “Hamba utusan Allah. Hamba akan membantu kalian semua.”
         “Apa maksudnya ini semua?” Said mengambil alih. Suaranya tegas dan ada nada-nada perlawanan.
                “Jika yang kalian maksud kenapa kalian berada disini. Hamba akan menjelaskan.” Latar putih menghilang digantikan latar perkotaan yang suram. Mereka berdiri di tengah jalan raya kosong yang memanjang lurus hingga mengecil di kejauhan. Tidak ada kendaraan kecuali yang terparkir di bahu jalan.

                Gedung-gedung pencakar langit berdiri tegar di setiap sisi jalan, menghalangi sudut pandang akan langit yang seram lagi menakutkan. Lampu-lampu jalan redup, seolah tidak mampu menerangi kegelapan yang memakan gang-gang sempit. Tikus-tikus pun berdecit senang sebab tidak akan ada yang mengusik mereka.

                “Dunia berada di ambang kehancuran. Hal ini karena manusia tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya.” cahaya berbentuk manusia itu melanjutkan.

                Alwi memutar bola mata, memandang takjub sekaligus ngeri. Alwi melihat seorang wanita ber-rok pendek tengah berjalan hingga kemudian ditarik seorang lelaki kekar masuk kedalam gang yang gelap. Lolongan wanita itu terdengar. Membuat Alwi ingin bergerak menolong sampai terdengar sebuah perintah                 “Tidak perlu. Jika kalian ingin menolong bukan sekarang waktunya.” Alwi merasa heran.
Ramdhan masih terdiam memandangi sekeliling. Suara sirine memecah kesunyian, seorang berpenutup kepala keluar dari sebuah toko dengan santainya. Tidak berselang lama letusan senjata api terdengar saling sahut-menyahut.

                “Apa yang sebenarnya terjadi?” Said naik pitam.
                “Iblis mengusai hati mereka. Saat ini diri mereka sedang di kendalikan. Sebab itu tidak perlu menolong mereka.”
                “Lalu kenapa kami di sini jika kami tidak bisa menolong?” Ridwan angkat suara.
        “Tugas kalian disini adalah mengalahkan iblis yang mengendalikan mereka.” Cahaya itu melanjutkan. Latar kembali berganti, sekarang menampilkan suasana pedesaan tua.
                Rumah-rumah beratapkan kayu berdiri lunglai. Temboknya lapuk, pasti roboh jika saja ada angin yang cukup kencang lewat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali jaring laba-laba yang terajut di sudut-sudut rumah.
                “Bagaimana kami mengalahkannya?”
           “Carilah seorang kakek tua jelmaan iblis. Bunuhlah dia maka umat manusia akan selamat.” Seketika cahaya tersebut menghilang. Namun suaranya masih bisa didengar.
                “Dimana dia berada?”
                “Tidak jauh dari desa ini. Kalian hanya perlu mengikut jalan setapak di depan kalian.”

                Berpikir sejenak. Alwi, Ahkam, Ridwan dan Said berjalan sesuai arahan yang mereka dengar. Bersiap menyongsong sesuatu yang sama sekali tidak mereka ketahui. Ingin rasanya mereka pulang. Namun tidak bisa.

                Menit demi menit berlalu. Waktu bergulir tanpa dapat dibendung. Setelah berjalan cukup jauh untuk membuat lutut meringik. Akhirnya mereka sampai di sebuah tempat yang sangat asing. Sebuah lahan sempit yang meninggalkan puing-puing kehancuran desa yang mungkin pernah berdiri. Tidak ada apapun lagi.

                “Kalian sudah dekat. Cepatlah.” panduan kembali terdengar. Alwi dan kawan-kawannya masuk kedesa. Dipikiran mereka hanya ada cara bagaimana untuk menyelesaikan ini dan pulang. Tidak lebih.

                Dilihatnya oleh Ridwan reruntuhan bangunan yang hanya menyisakan sedikit bentuk yang pernah dibangun. Sisanya tidak lebih dari kumpulan batu tidak berguna. Tiang-tiang penyangganya juga sangat rapuh. Memang dulunya itu adalah bekas rumah yang kokoh. Namun sekarang tidak lebih dari rongsokan sampah yang siap roboh kapanpun. Mereka menjadi lebih hati-hati.

                Setelah berjalan-jalan tanpa arah. Alwi menemukan seorang kakek tua tengah duduk termenung di tengah reruntuhan bangunan. Rambutnya putih beruban sedang wajahnya tidak terlihat sebab membelakangi mereka. Bajunya lusuh, lebih terlihat seperti orang miskin yang tidak berdaya ketimbang iblis yang menyamar.

                “Bunuh dia..” perintah terdengar.
                “Tidak mungkin dia iblis.” Ridwan tidak setuju.
                “Tidak, dia iblis. Jangan percaya atas apa yang kamu lihat.”
                “Tapi . . .”
           “Cepat bunuh.” sebilah pedang muncul ditangan Ridwan hingga membuatnya tersentak mundur.
                “Tidak mungkin.” Ridwan bingung.
                “Jangan terlalu lama. Dia bisa berubah kapanpun.”

                Sekilas Ridwan menatap teman-temannya. Alwi yang masih ragu pun hanya terdiam. Berbeda dengan Said yang mengangguk mantap. Said hanya berpikir dengan membunuh dapat menyelesaikan masalah ini dengan cepat dan bisa kembali pulang. Sementara Ramdhan mengangkat bahu tanda tidak tahu.

                Zayn Ridwan melangkah mendekati kakek tua. Ditangannya tergenggam pedang yang siap menebas siapapun.

                “Cepat. Waktumu sebentar lagi.” Zayn masih bingung.
                “Cepat..!!”Said yang sudah tidak tahan meneriakinya.
                “Tapi,”
                “Tidak ada waktu lagi. Sekarang”
\
                Pedang teracung, terayun dan menebas leher kakek tua. Darah seketika menyembur deras seperti keran bocor. Zayn yang tidak tahan melihat bagaimana sebuah kepala mengelinding langsung menutup matanya. Perut Zayn serasa berputar, Mual. Pedang ditangan Zayn terlepas karena tangannya tidak lagi memiliki tenaga. Lemas, perlahan Zayn melangkah mundur untuk kembali ke teman-temannya.

                Alwi masih terpaku dengan apa yang dia lihat. Cahaya putih tampak muncul kembali, mendekati mayat yang baru saja tergeletak. Tidak terjadi apa-apa.

                “Tugas kalian selesai.” cahaaya itu berkata.
                “Hanya seperti ini?” Alwi bertanya. Ada perasaan aneh yang muncul di hatinya.
                “Tidak. Ini baru awal. Selamat bersenang-senang.” Cahaya itu menyelimuti mayat kakek tua.
                “Apa yang kamu-” suara Said terputus ketika kepalanya tiba-tiba pusing. Dunia serasa berputar. Alwi, Ahkam dan Zayn juga merasakan.
                “Selamat tinggal” suara terakhir yang mereka dengar sebelum semuanya berubah menjadi gelap.
****
                Alwi terbangun dari tidurnya, keringat membasahi bajunya. Tubuhnya bangkit perlahan. Matanya yang masih sepat menyesuaikan cahaya dalam kamarnya. Ya, Alwi terbangun di kamarnya setelah mengalami mimpi yang terasa sangat nyata.

                Suara adzan subuh terdengar. Alwi bersiap-siap dan pergi kemasjid. Di perjalannya santri-santri menatap Alwi seolah melihat orang asing. Alwi yang tidak tahu apapun juga merasa bingung.

                Kaki Alwi melangkah di lantai masjid. Menuju shaff kosong tepat dibelakang Ustadz Maul. Sekilas Alwi bisa melihat Ustadz Maul menoleh kearahnya dari balik punggung. Deg. Alwi menjadi takut.

****

                Alwi berlari keluar dari masjid diikuri Zayn,Ramdhan dan Said yang mengekor. Tidak ada alasan lain Alwi dan teman-temannya berlari kecuali melihat tatapan santri lain. Sekilas memang tidak ada yang aneh dari tatapan mereka, kecuali satu hal. Mata mereka. . ya. Mata mereka gelap dan ber-api-api.



SELESAI. . . MUNGKIN



Bagaimana? Seru bukan ceritanya? Ayo baca lagi koleksi cerpen milik Nanta dan temannya di bagian cerpen. Ga terlalu bagus sih, tapi lumayan untuk menghibur.

Oke... Sampai jumpa di cerpen berikutnya...

Salam Hangat,
Nanta

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »