Hai NV's Visiters! Selamat datang ^_^
Bagaimana belajarmu hari ini? Sudah sampai mana? Sudahlah! Jangan bahas-bahas belajar lagi di sini! Capek tau!
Hehehe...Iya iya, Nanta minta maaf. Oke langsung saja dibaca yaa.. ini adalah cerpen karya teman saya yang lain. Tenang sudah izin ko sebelumnya sama yang empunya cerpen.
Eh! Nanta! Mana cerpen buatanmu? Masa nge-post cerpen orang melulu? Apa kamu ngga malu? Mmm, sebenarnya cerpenku lagi dalam proses editing, hehe. Ditunggu aja ya.
Malam berjalan begitu cepat. Aku lihat jam,
ternyata sudah lewat jam 12. Tapi aku harus tetap terjaga. Besok aku harus
menghadapi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Nasional (UMPTN). Masih ada dua buku
lagi yang harus aku habiskan. Dengan ditemani nyanyian hewan malam, aku terus
bergulat dengan buku-buku pelajaran yang tebalnya bukan main.
Tidak
terasa jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Tinggal setengah buku lagi.
Aku putuskan untuk istirahat sejenak dengan sholat tahajjud. Dalam sholat aku
ber-munajat kepada Allah. Aku memohon ampun dan pertolongan-Nya agar aku
dimudahkan dalam mengerjakan soal-soal ujian nanti. Setelah selesai, aku
lanjutkan kembali membaca buku yang tersisa.
"Alhamdulillah, akhirnya selesai
juga." Lantas aku pun tertidur.
* * *
Usai sholat shubuh aku langsung bergegas
pergi ke Institut Pertanian Bogor (IPB), tempat tes UMPTN yang kupilih dengan alasan karena jaraknya yang paling dekat diantara universitas lain yang kutahu. Dari
rumah, aku membutuhkan waktu sekitar empat jam perjalanan menggunakan kendaraan
umum. Rumahku terletak di sebuah desa kecil di Sukabumi yang bernama Desa
Sukasirna. Namanya memang cukup unik.
Sesampai
di sana, aku telusuri ruangan demi ruangan dan meneliti setiap daftar nama yang
terpampang di depan pintu ruangan. Langkahku terhenti ketika di depan pintu
ruang 6. “Akhirnya ketemu juga,” gumanku. Aku pun masuk ke dalam ruangan. Aku
adalah peserta ujian yang paling terakhir datang. Aku lihat peserta lain sudah
siap untuk memulai ujian.
Ujian
pun dimulai.
Nyaliku sempat ciut saat melihat
soal-soal yang berada di hadapanku. Selain itu, aku juga harus bersaing dengan
ribuan peserta ujian di seluruh Indonesia. Tapi, walau bagaimanapun aku tidak
boleh berkecil hati. Aku tidak boleh berhenti sampai disini. Aku harus tetap
berjuang setelah usahaku belajar dua bulan lamanya. Man jadda wajada.
Sejak lulus dari Pondok Pesantren
Darussalam di Kediri, Jawa Timur tiga bulan yang lalu, aku memang sudah
mempersiapkan diri untuk hal ini. Tak kurang dari tiga tumpukan buku yang harus
aku pelajari. Siang dan malam aku terjaga. Sampai-sampai mataku merah, kantung
mataku manghitam, badan ku kurus kering bagai
anak dara mabuk andam. Aku memang terlalu memforsir diri. Tapi tak apa.
Demi cita-citaku, bukit tinggi akan
kudaki, laut dalam akan kuseberangi.
* * *
Mimpi besarku adalah bisa menuntut ilmu di
negeri orang. Di Eropa. Aku selalu teringat akan hadits Nabi: “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”. Walaupun hadits ini dho'if, tapi aku yakin dengan menuntut ilmu di negeri orang akan
mendapat pengalaman dan pelajaran hidup yang sangat bermakna.
* * *
Aku lihat koran pagi hari ini. Waktu yang
kunanti-nanti akhirnya datang juga. Setelah dua minggu lamanya menunggu. Aku
teliti dangan seksama daftar nama yang lulus UMPTN. Telunjukku bergerak dari
atas ke bawah. Mataku sampai tidak berkedip sama sekali.
Kupastikan agar namaku tidak
terlewat.
Namaku tidak ada. Tersisa satu
kumpulan nama lagi. Aku masih terus berharap. Dengan sabar aku terus telusuri.
Telunjukku berhenti bergerak
ketika melihat sebuah nama. “Roby Noer Habibie”. Aku teliti ulang sampai tiga
kali. Tidak salah lagi, itu memang namaku. Aku senang bukan kepalang. Aku pun
langsung sujud syukur. Memuji dan mengagung-agungkan-Nya. Aku tidak menyangka
bisa lulus ujian. Aku bahkan diterima di fakultas tujuanku, Sekolah Ilmu
Teknologi Hayati (SITH) di ITB. Memang tidak sia-sia usaha orang yang
bersungguh-sungguh. Berjuang melebihi perjuangan orang lain.
* * *
Kota Bandung masih diselimuti kabut. Aku
berkata dam hati, “Inilah hariku!”. Hari pertama aku kuliah. Aku tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan ini. Setelah berpamitan dengan Ibu Hanan, aku dan
Hanan bergegas pergi. Tapi tujuan kami tidak sama. Aku ke ITB, sedangkan Hanan
ke Unpad (Universitas Padjadjaran).
Hanan adalah kawan
karibku ketika masih di Pondok. Untuk sementara waktu aku menumpang di rumahnya
sampai aku menemukan tempat kos yang cocok. Aku sangat kagum kepada Hanan dan
keluarganya. Mereka adalah orang yang sangat baik hati. Mereka mau menolong
siapa saja yang membutuhkan pertolongn. Seperti aku ini.
Jarak rumahnya ke
kampusku tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu setengah jam dengan bus kota.
Di
dalam bus, aku duduk di samping seorang wanita berjilbab. Kelihatannya dia juga
seorang mahasiswa baru. Aku beranikan diri untuk memulai percakapan.
“Hai! Mahasiswa baru
juga, ya?” Kupastikan bahwa dugaanku itu benar.
Ia memalingkan wajahnya
ke arahku. Ia mempersembahkan senyum kepadaku. Senyumannya sungguh memesona.
Menyejukkan hati dan pikiran bagi siapa saja yang melihatnya. Bibirnya bagai asam seulas.
“Iya. Aku mahasiswa baru ITB.” Jawabnya.
“Oya?! Aku juga
mahasiswa baru ITB. Fakultas SITH-Sains.”
Matanya berbinar bagai
intan permata ketika ia mendengar hal itu. Ternyata, ia satu fakultas denganku
hanya berbeda jurusan. Kami pun berbincang-bincang selama perjalanan. Ia
tinggal bersama keluarganya. Rumahnya tidak jauh dari rumah Hanan. Hanya
berbeda dua kompleks saja.
Hari ini adalah hari
yang tidak akan pernah aku lupakan. Hari pertama kuliah, bertemu dengan seorang
wanita yang amat cantik rupanya. Bagai
bulan berpagar bintang. Cocok sekali dengan namanya. “Aisyah Nurul
Fatimah”.
Ketika aku bertanya ia lulusan
dari mana? Ia menjawab.
“Aku lulusan dari
Pondok Pesantren An-Nisa di Sukabumi. Sesuai dengan namanya, pesantren ini
dikhususkan untuk perempuan.”
Sungguh kebetulan yang benar-benar
kebetulan.
Ketika sampai di kampus, aku melihat
beberapa orang yang memakai
almamater biru donker. Sepertinya mereka adalah mahasiswa senior.
“Ayo cepat!!! Hari pertama aja
udah telat. Gimana hari-hari selanjutnya?! Mau jadi apa bangsa kita ini?!”
teriak salah seorang dari mereka.
Banyak mahasiswa baru
yang terlambat. Aku hitung ada 27 orang. Untungnya aku dan Aisyah bisa datang
tepat waktu. Hanya selisih beberapa menit. Mereka yang terlambat jadi
bulan-bulanan para senior. Mereka dibentak-bentak, bahkan sampai dikerjai
habis-habisan oleh para senior.
Oh... ternyata ini
yang namanya OSPEK.
Aku tidak pernah
tahu sebelumnya. Selama
di pesantren, aku tidak pernah mengalami hal seperti ini. Ini sama saja
melakukan penghinaan terhadap suatu kaum. Islam melarang keras perbuatan itu.
* * *
Setelah selesai membereskan barang bawaan,
aku rebahkan badanku di atas kasur tipis. Kini aku sudah tidak menumpang lagi
di rumah Hanan. Aku sudah menemukan tempat kos yang cocok dengan kantongku.
Tempatnya juga lebih dekat dengan kampus.
Selama merantau, aku
bertekad untuk tidak berpangku tangan
kepada siapa pun,
terutama kedua orang tuaku. Aku tidak mau menyusahkan mereka. Karena aku
tahu penghasilan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
membayar uang sekolah kedua adikku saja.
Oleh
karena itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup, aku harus mencari pekerjaan. Tapi,
tidak seperti yang aku bayangkan, ternyata mencari pekerjaan itu tidak mudah.
Apalagi aku hanya lulusan pesantren. Aku sudah mengajukan lamaran perkerjaan ke
berbagai perusahaan, namun semuanya menolak. Aku bingung harus mencari ke mana
lagi.
Aku
teringat sebuah hadits Rasulullah Saw
yang berbunyi: “Sampaikan dariku walau satu ayat”. Atas dasar itu, aku
menawarkan jasa menjadi seorang guru ngaji anak-anak di sekitar tempat
kos-anku. Tak kusangka, ternyata banyak juga orang tua yang mau menitipkan
anak-anaknya kepadaku. Aku tidak mematok biaya kepada para orang tua. Mereka
aku biarkan membayar seikhlasnya.
Setelah aku hitung-hitung, uang
hasil menjadi guru
ngaji hanya cukup
untuk membiayai kebutuhan
sehari-hariku saja. Sedangkan aku masih harus membayar uang kuliah dan uang kos
setiap bulannya. Aku tidak mau hasil kerja kerasku selama ini terhenti hanya
karena keadaan ekonomi yang mendesak.
Aku
memutar otak. Akhirnya aku menemukan ide untuk mengajari teman-teman kampusku
bahasa Arab dan Inggris. Dalam hal bahasa aku memang cukup piawai karena
pesantrenku dulu mewajibkan siswanya untuk berbahasa Arab dan Inggris. Apabila
tertangkap basah menggunakan bahasa Indonesia, siswa yang melanggar akan
dibotak dan tidak akan mendapat uang bulanan.
* * *
Aku berjalan menuju ruang serbaguna. Aku
telah mengurus semua perizinan untuk menggunakan ruangan itu setiap hari senin
dan kamis. Ruangan itu akan aku gunakan sebagai kelas bahasaku. Aku telah
menempelkan pengumumannya di mading kampus.
Aku mematok biaya lima ribu setiap pertemuan. Aku berharap ada banyak yang
berminat mengikuti kelasku.
Harap-harap cemas, aku
buka pintu ruang
kelasku. Kulihat hanya
ada sembilan orang, termasuk Aisyah. Awalnya aku sedih,
tapi kesidihanku terobati oleh kehadiran Aisyah.
“Selamat sore, semua!” sapaku kepada murid-muridku—kusebut
mereka murid, padahal aku sendiri merasa tidak pantas menyebut mereka dengan
sebutan itu.
“Sore!” sahut mereka serentak.
“Apakah
masih ada yang lain?”
Mereka terdiam tanda tidak tahu.
“Baik. Kalau begitu,
kita mulai saja
kelas pada pertemuan pertama ini.
Hari ini kita akan belajar bahasa Inggris. Sedangkan pada pertemuan selajutnya,
yaitu kamis sore kita akan belajar bahasa Arab.”
Ketika aku sedang menjelaskan, satu per satu orang
datang untuk mengikuti kelas bahasaku. Jumlah orang yang mengikuti kelasku
bertambah 24 orang. Jadi, jumlah muridku sekarang ada 33 orang.
“Alhamdulillah.” gumamku. Sampai kelas selesai jumlah muridku tidak bertambah.
Sebenarnya aku
merasa heran dengan Aisyah. Mengapa dia mau mengikuti kelas bahasaku?
Padahal dia juga seorang lulusan pesantren yang memiliki aturan tidak jauh
berbeda dengan pesantrenku. Dan mungkin saja dia lebih layak berada di posisiku
dibandingkan aku.
Mereka keluar satu
per satu. Tersisa aku dan Aisyah.
Aku mengajaknya pulang bersama. Ia tidak menolak.
Selama
perjalanan pulang, aku
lebih banyak bertanya
kepadanya. Menanyakan tentang kesehariannya. Berdasarkan
penjelasannya, aku bisa menyimpulkan bahwa Aisyah adalah orang yang sangat
disiplin waktu. Ia menjadwal semua kegiatannya mulai dari bangun tidur sampai
tidur kembali. Aku pun tak lupa untuk menanyakan keherananku kepadanya.
Katanya, ia hanya mau melihat kemampuan bahasaku saja. Aku merasa tertantang
setelah mendengar penjelasannya. Aku pun mengajaknya untuk berbicara dalam
bahasa Inggris dan Arab selama perjalanan pulang.
Memang harus aku
akui kemampuan bahasa
Inggrisnya lebih baik
daripada aku. Tapi, kemampuan bahasa Arabnya tidak lebih baik daripada
aku.
Di dalam bus,
ia sempat bertanya
kepadaku, mengapa aku
mengadakan kelas bahasa. Keceritakan semua padanya. Aku juga
tak lupa memberitahunya bahwa aku mengadakan sebuah pengajian anak-anak.
Setelah mendengar semua penjelasanku, ia pun berkata.
“Kamu butuh temen gak?”
“Temen apa?”
“Temen ngajar lah.
Boleh kan aku ikut ngajar sama kamu?”
Tak kusangka ia akan menawarkan dirinya untuk mengajar
bersama. Aku diam sejenak untuk berpikir. Belum sempat aku menjawab, ia sudah
berkata lagi.
“Tenang, untuk masalah bayaran aku ambil 25%-nya saja. Sisanya
itu hak kamu.”
Macam orang pintar saja. Ia bisa membaca pikiranku.
Karena yang menawarkan
diri adalah Aisyah, tentu saja
aku menerimanya dengan tangan terbuka.
* * *
Sejak hari itu, hubunagn aku dengan Aisyah
semakin dekat. Kami saling mengenal satu sama lain. Aku merasa ada yang aneh di
dalam hatiku. Perasaan yang tidak bisa diterjemahkan dengan bahasa apapun.
Apakah ini yang namanya CINTA?
Tuhan memang telah menciptakan
segala sesuatu secara
berpasang pasangan, ada hujan ada panas. Sebagaimana terkandung
dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang memiliki arti: “Wahai manusia! Sungguh,
kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.,
kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah oarang
yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Apakah Aisyah memang ditakdirkan oleh-Nya untuk menjadi
pasangan hidupku? Kalau pun iya, aku merasa ini belum saatnya. Aku masih harus
terus berjuang agar menjadi lulusan terbaik di kampusku. Lagi pula aku belum
mempunyai cukup biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupku bersama Aisyah nanti.
* * *
“Roby Noer Habibie”.
Suara tepuk tangan
bergemuruh menyelimuti setiap sudut ruangan ketika namaku dipanggil oleh
pembawa acara.
Dengan menggunakan baju hitam kebesaran dan
toga di atas
kepala, kulangkahkan kaki menuju panggung. Inilah hari yang
ditunggu-tunggu oleh setiap mahasiswa, termasuk aku. Sebentar lagi aku akan
diwisuda. Aku akan menjadi seorang sarjana. Aku akan menempuh kehidupan
baru—arti kehidupan yang sebenarnya.
Kuterima sertifikat
kelulusan dari orang nomor satu di Universitas. Rektor. Ia
memindahkan tali togaku dari kri ke kanan. Melambangkan perubahan menuju yang
lebih baik dan sudah siap untuk terjun langsung membangun masyarakat.
Sebelum acara selesai,
ada sesi pengumuman
lulusan terbaik dengan predikat cumlaude. Satu per satu nama dipanggili
oleh pembawa acara.
“... dan yang terakir adalah Roby Noer Habibie dari fakultas
Sekolah Ilmu Teknologi Hayati-Sains.”
Mendengar namaku menjadi salah satu di
antara nama-nama lulusan terbaik, aku langsung terperanjat dari
bangkuku dan melakukan sujud syukur yang cukup lama. Sambil melangkah ke arah
panggung, hatiku tiada henti terus memuji dan mengagungkan-Nya.
Setelah menerima penghargaan, aku diminta untuk menyampaikan
kesan dan pesanku selama aku menimba ilmu. Dari atas podium, aku melihat Ayah
dan Ibuku mengangis karena terharu melihat anaknya yang telah berjuang sejauh
ini. Aku edarkan pandanganku ke arah yang lain. Dari arah kumpulan fakultasku,
aku melihat ada seseorang yang melambaikan tangan dan tersenyum kepadaku.
Senyuman yang sama ketika pertama kali bertemu dengannya. Ya, dia adalah
Aisyah. Melihat senyumannya, hatiku laksana tersiram air dingin yang sejuk.
Acara
pun selesai. Aku mengajak kedua orang tuaku menghampiri Aisyah. Aku
memperkenalkan Aisyah kepada kedua orang tuaku. Begitu pula dengan Aisyah, ia
memperkenalkanku kepada kedua orang tuanya. Aisyah dan kedua orang tuanya tak
habis-habisnya memberikan selamat kepadaku.
"Habibie,
selamat ya! Kamu hebat banget bisa jadi lulusan terbaik dengan nilai 3,85
predikat cumlaude!" Ucap Aisyah
dengan girangnya.
"Iya.
Selamat ya, Nak. Kedua orang tuamu pasti bangga mempunyai anak sepertimu."
Tambah Ayahnya Aisyah sambil memegang bahuku.
Kami
pun berbincang-bincang cukup lama.
* * *
Semenjak lulus, aku memang sudah langsung
mendapat banyak tawaran kerja dari berbagai perusahaan dan lembaga penelitian.
Sekarang aku bekerja di sebuah laboratorium di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). LIPI adalah salah salah satu lembaga penelitian terbesar di
Indonesia. Itu salah satu alasanku memilih LIPI sebagai tempat kerjaku.
Aku
bekerja menjadi seorang asisten profesor. Sudah dua bulan aku menekuni
pekerjaan ini. Bekerja sebagai asisten profesor cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidupku. Aku juga bisa mengirimkan uang ke kampung untuk kedua orang tuaku
setiap bulannya.
Selain
bekerja, aku juga mendapat banyak pelajaran dari Prof. Dr. Djoko Koesoemo. Pria
paruh baya ini adalah profesor yang aku asisteni.
Dia adalah orang yang sangat ramah dan mau membagi ilmunya kepada siapa saja.
Ia juga orang yang sangat transparan.
Di
waktu senggang, aku sering mengadu kepadanya. Ia memang sudah aku anggap
seperti ayahku sendiri. Aku pernah mengungkapkan keingnanku untuk melanjutkan studi-ku ke jenjang yang lebih tinggi di
Eropa. Ia tidak hanya menasehatiku, tapi ia juga memberikan motivasi-motivasi
yang sangat bermakna bagiku. Ia menyuruhku untuk mengikuti program beasiswa Erasmus+. Erasmus+ terkenal sulit untuk
didapat dan hanya untuk orang-orang hebat saja. Aku tidak yakin bisa lulus
mendapat beasiswa itu.
"Kau
jangan kalah Sebelum berperang. Kau jangan ciut nyali. Orang-oprang hebat
adalah mereka yang memiliki mimpi setinggi langit dan mau terus berjuang sampai
tetes darah penghabisan demi menggapai mimpi-mimpinya. Aku melihat itu ada
dalam dirimu."
Profesor
Djoko terus memberikan nasehat dan motivasinya kepadaku.
* * *
Aku kembangkan formulir beasiswaku yang
harus aku isi di atas meja. Hanya tiga halaman. Inilah tiga halaman yang paling
menentukan hidupku. Karena dari tiga halaman inilah panitia beasiswa akan menentukan
apakah aku layak untuk dipanggil wawancara atau tidak.
Aku
isi sebaris demi sebaris dengan hati-hati. Setelah selesai, aku meminta tolong
kepada Profesor Djoko untuk memberi masukan. Hal ini sangat membantu. Banyak
usulannya yang berhasil memperkuat formulirku dan memperbaiki kesalahan grammar-ku.
Aku
rasa sudah cukup sempurna. Profesor Djoko juga tidak memberikan masukan lagi.
Aku masukan formulir itu ke dalam amplop dan aku kirim lewat kantur pos. Sambil
menunggu hasil beasiswa Erasmus+, aku terus mengirim e-mail dan mengisi aplikasi ke berbagai
universitas dari lembaga beasiswa kampus masing-masing.
* * *
"Halo,
Assalamu'alaikum, Aisyah."
"Wa'alaikumussalam.
Habibie... Apa kabar? Sudah lama aku menunggu telepon dari kamu." Ah, dia
terlalu berlebihan. Padahal baru satu minggu yang lalu aku menghubunginya.
Aku
dengan Aisyah memang masih berhubungan baik meskipun jarak memisahkan.
"Alhamdulillah,
baik. Gimana Aisyah kerjanya? Betah gak?"
Ia bekerja sebagai asisten profesor, sama seperti aku. Hanya saja ia bekerja di
sebuah Universitas ternama di Bandung.
"Ya...
gitu. Apa yang kamu rasain sama kayak yang
aku rasain. Tapi, di sini sepi."
"Sepi
kenapa? kan di sana banyak
mahasiswa."
"Hmmm,
sepi aja." Sebenarnya apa maksudnya? Apakah ini sebuah tanda?
"Iya nih. Di sini juga sepi."
"Lah, kan banyak peneliti sama mahasiswa
yang ngelakuin penelitian di sana.”
"sepi,
gak bisa denger suara Aisyah setiap
hari." Aku terkejut sendiri mendengar perkataanku.
"Ah,
bisa saja kamu." Walau tidak melihat, aku merasa bisa melihat pipinya yang
merah merona ketika ia menjawab.
"Iya,
serius. Sama, KANGEN juga waktu kita ngajar ngaji bareng."
Hening.
Tidak ada jawaban. Aku berfirasat, ia sedang senyum-senyum sendiri memikirkan
perkataanku.
Aisyah
masih belum menjawab. tiba-tiba terdengar suara "Tut... tut...
tut...". Ah, dia memutus teleponnya. Padahal aku baru akan memberi
memberitahukan keikutsertaanku mengikuti program beasiswa. Aku tidak enak untuk
meneleponya kembali. Lalu aku putuskan untuk memberitahukannya ketika aku sudah
benar-benar lulus saja. Biar suprise.
* * *
Tiga minggu yang lalu aku memenuhi
panggilan panitia beasiswa untuk mengikuti wawancara beasiswa.
Ketika
aku sedang menikmati hari liburku dengan membaca buku TOEFL, aku mendengar
suara motor yang berhenti di depan pintu kosku.
"Surat
untuk Roby Noer Habibie"
Ternyata
tukang pos.
Setelah
aku terima dan aku tandatangani, aku buka amplop itu. Aku baca isi surat itu
dengan saksama. Isinya menerangkan bahwa aku lulus sebagai penerima beasiswa Erasmus+.
Selang
satu minggu, aku mendapat e-mail resmi
dari Norwegia University of Science and Technology. Mereka telah menyetujui
aplikasi S-2ku.
Ingin
aku rasanya melompat dan berteriak sekeras-kerasnya. Impian besar itu tercapai
juga akhirnya. Alhamdulillah, ya Allah. Janji-Mu memang tidak pernah meleset,
apa yang diperjuangkan dengan sepenuh hati, lambat laun akan sampai juga.
* * *
Selepas sholat dzuhur, aku dan Profesor
Djoko makan siang bersama sembari berbincang-bincang, layaknya seorang anak
dengan ayahnya. Kami membicarakan soal masa depanku. Di tengah pembicaraan, ia
sempat bertanya kepadaku. Pertanyaan yang membuat aku teringat kepada Aisyah.
"Sudah
punya calon belum nih, Bie?"
"Entahlah.
Lagi pula usiaku baru 22 tahun."
"Usia
bukan alasan. Saya dulu menikah di usia yang lebih muda darimu. Kalau sudah ada
yang cocok dan merasa mampu, langsung saja. Kalau dibiarkan dia bisa hilang,
seperti lenyap ditelan bumi. Atau bisa jatuh ke tangan oarang lain."
Perkataan
Profesor Djoko terus terngiang di kepalaku. Aku sebenarnya memang sudah
memikirkan akan hal itu. Semenjak bertemu dengan Aisyah, ingin rasanya aku
mengungkapkan perasaanku kepadanya. Tapi aku malu. Dan yang lebih penting lagi,
apakah Aisyah mau? Aku tidak tahu pasti. Tapi tidak ada cara lain untuk
mengetahuinya.
Pada
malam harinya, aku telepon Aisyah.
"Halo,
Assalamu'alaikum, Aisyah."
"Wa'alaikumussalam.
Ada apa, Bie? Kok tumben malem-malem
gini telepon?"
Aku
menghela napas panjang.
"Ehm...
Aisyah?"
"Ya"
"Aku
mau ngomong sesuatu nih"
"Apa?"
Mugkin
ini memang sudah waktunya. Aku harus menyatakan Sikap dan Perasaanku.
"Aisyah,
aku ingin berterus terang. Semenjak kita bertemu, aku merasa ada yang aneh.
Seperti ada ruang kosong didalam hati ini yang harus segera diisi. Setiap saat
wajahmu selalu tergambar jelas dalam benakku. Aku sudah lama ingin menyatakan
perasaanku kepadamu. Tapi aku tidak berani."
Aku
diam sejenak, lalu aku terus melanjutkan.
"Aku
pernah berpikir kalau jodoh adalah rahasia tuhan. Tapi tuhan telah membukakan
rahasia itu padaku hari ini. Aisyah, maukah engkau menjadi pendampingku seumur
hidup?"
Ada
jeda sejenak sebelum akhirnya terdengar suara Aisyah dari balik telepon.
"Perempuan
hatinya seperti kaca, jika pecah tidak bisa kembali utuh sempurna. Hargai hati
dan perasaannya. Jangan permainkan perasaannya kalau masih ragu. Tapi, kalau
kamu sudah yakin, aku..." Ia berhenti sejenak dan terdengar suara helaan
napas.
"Aku
siap jadi pendamping hidupmu seumur hidupku." Sambung Aisyah.
Badan
dan hatiku terasa enteng. Serasa terbang melayang di angkasa luar. Menjadi
salah satu di antara miliaran bintang.
"Jadi
kapan waktunya?" Tanya Aisyah.
"Kalo
bisa sesegera mungkin."
"Kenapa
harus buru-buru?"
"Oh
iya. Aku lupa menceritakan satu hal kepadamu. Tahun ajaran baru, aku akan
melancong ke Norwegia untuk melanjutkan studi-ku.
Itu artinya dua bulan lagi. Aku telah mendapat beasiswa Erasmus+."
"Oh
ya?! Serius kamu, Bie? Selamat ya." Teriaknya setengah tidak percaya.
"Iya
serius. Rencananya aku akan membawamu ikut serta denganku. Pergi merantau,
sekolah, melihat dunia, dan membangun keluarga bersama. Let's grow old together."
"Terima
kasih, Bie... Jadi kapan?" Tanyanya antusias.
"Aku
maunya sih satu bulan dari
sekarang."
* * *
Aku telepon kedua orang tuaku dan bercerita
dengan malu-malu kalau aku sudah menemukan calon yang ingin aku persunting.
Mareka tidak banyak bicara. Mereka justru menyerahkan semuanya kepadaku. Sejak
kecil aku memang dididik oleh kedua orang tuaku untuk mandiri dan aku bebas
menentukan pilihan hidupku sendiri selama itu baik untukku dan tidak menyimpang
dari ajaran agama islam.
Setelah
selesai dengan kedua orang tuaku, aku masih harus menelepon orang tuanya Aisyah
sebelum kedua keluarga bertemu secara adat. Meskipun aku sudah mengenal cukup
baik orang tuanya Aisyah, Tetap saja tubuh ini terasa gemetar. Setelah panjang
lebar aku jelaskan pada aayahnya Aisyah, ia langsung menyetujuinya tanpa pikir
panjang. Ternyata ayahnya Aisyah sudah mengetahui maksud dan tujuanku meneleponnya.
Aisyah sudah menceritakan semuanya tadi malam kepada ayah dan ibunya. Ayah dan
ibunya Aisyah telah berdiskusi panjang semalaman suntuk.
Setelah
berbicara ke sana ke mari, ayahnya Aisyah bertanya kepadaku.
"Jadi
kapan keluarga kita bisa saling bertemu?"
* * *
Dengn berdebar-debar kuulurkan tangan ke
arah ayahnya Aisyah. Pandanganku aku jatuhkan pasrah ketangan kami yang
berjabat.
Penghulu
mempersilakan ayahnya Aisyah untuk mengucap ijab.
"...
Saya nikahkan dan saya kawinkan anak saya yang bernama Aisyah Nurul Fatimah
binti Ilham Hidayat kepada engkau, Roby Noer Habibie bin Imam Rosyid dengan mas
kawin berupa seperangkat alat sholat tunai."
Aku
hela napas panjang dan aku bersihkan tenggorokan. Dengan suara bergetar, aku
lafadzkan kabul yang telah aku hapal sejak tiga hari yang lalu.
"Saya
terima nikahnya dan kawinnya Aisyah Nurul Fatimah binti Ilham Hidayat dengan
mas kawin yang tersebut, tunai."
"Alhamdulillah,
Alfatihah..." ucap sang penghulu dengan senyumnya lang lebar.
Aku
melihat sanak keluarga tersenyum lega. Begitu juga dengan Aisyah. Aku
memakaikan cincin ke jari manis Aisyah, lalu ia mencium tanganku dan aku balas
dengan sebuah kecupan di keningnya.
Hari
itu kami menjadi Raja dan Ratu sehari.
* * *
Sinar keemasan matahari sore menembus jendela
apartemen kami yang berada di lantai 7. Apartemen kami memiliki balkon yang
posisinya sangat strategis. Dari sini kami bisa melihat pemandangan kota Eropa
yang memesona.
Di
balkon, ada kursi malas yang sangat nyaman untuk bermesraan berdua. Di sampingnya
ada meja kayu kecil tempat di mana Aisyah meletakkan dua gelas susu. Kami
saling berpegangan sambil memandang jauh keluar.
"Sayang?"
Kataku sambil menatap sorot matanya yang masih memandang jauh keluar.
"Iya."
"Terima
kasih ya, kamu telah memilihku untuk menjadi pendampingmu, pembelamu, dan
menjadi imammu. Aku berjanji akan berjuang habis-habisan mewujudkan mimpi
kita."
"Tidak.
Aku yang seharusnya berterma kasih kepadamu, Sayang."
Lalu,
aku cium keningnya dan aku peluk Aisyah erat-erat sambil berkata, "Kita
sedang berlayar di samudera luas. Banyak rintangan yang menanti di depan sana.
Kita harus bisa mengarungi samudera, menerjang ombak, dan menempuh badai
bersama. Tapi aku tidak mau kehilanganmu."
"Jangan
khawatir, Sayang. Aku akan selalu berada di sampingmu dikala suka maupun duka.
Aku akan menjadi penyemangatmu dikala kau membutuhkan dorongan. Kita akan
melewati pahit getirnya kehidupan bersama." Ucap Aisyah yang masih berada
dalam pelukanku.
"Sekali
lagi terima kasih, Sayang."
Sore
berganti malam. Langit jingga berganti hitam. Kami pun masuk ke dalam. Dengan
ditemani keheningan malam, kami pun melaksanakan ibadah bersama dengan
khusyuk sampai larut. Dalam ibadah aku terus ber-tasbih dan memuji-NYA
atas kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya. Aku telah mendapatkan
semua yang aku mimpikan, terutama mimpi besarku, dapat menuntut ilmu di Eropa.
Fabiayyiaalaa
irobbikumaa tukadzdzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?
Dari
tempat inilah aku mulai membuka lembaran-lembaran hidup baru bersama Aisyah.
* Tamat *
Bagaimana? Seru bukan ceritanya? Ayo baca lagi koleksi cerpen milik Nanta dan temannya di bagian cerpen. Ga terlalu bagus sih, tapi lumayan untuk menghibur.
Oke... Sampai jumpa di cerpen berikutnya...
Salam Hangat,
Nanta