Takdir

Selamat datang NV's visiters ! ^_^

Bagaimana harimu kemarin? Apakah menyenangkan, menyedihkan, atau biasa saja? Nanta do'akan semoga hari ini bisa lebih baik dari kemarin ya...
Oke, kali ini Nanta akan membagikan salahsatu cerpen karya teman yang berjudul "Takdir".




            Langit di atas Syria bagaikan kanvas raksasa merah tembaga. Kemilau kuning sinar mentari yang sempat mewarnai angkasa beberapa jam sebelumnya kini menjadi beberapa garis keemasan yang indah. Beberapa gumpalan putih dari awan yang bergerak perlahan bercampur dengan biru cakrawala di latar belakang, memperindah dalam mimpi paling mengesankan sekalipun tak akan menyamai keindahan suasana senja jika udara sedang cerah seperti ini.
            Waktu bergerak pelan di Damaskus, ibu kota Syria, dengan pola yang sama dari hari ke hari. Namun beberapa menit lagi, Yusuf akan meninggalkan kota tercintanya itu. Yusuf begitu sedih dan berat hati tetapi keadaan memaksanya. Perang yang berkecamuk menghancurkan sebagian kota. Suara tembakan, bom, tangisan ibu yang kehilangan suami dan anaknya, takbir yang menggema, dan lain – lain selalu menghiasi hari – harinya. Ayah dan ibunya telah lama wafat ketika perang ini dimulai. Yusuf ingin menyusul keluarganya dengan berjihad tetapi gurunya melarang. “Yusuf... Sebaiknya kamu memanfaatkan waktu hidupmu dengan hal lain yang dapat mendatangkan manfaat bagi orang lain. Karena itulah, aku ingin kamu pergi dari sini dan pindah ke Indonesia. Aku mempunyai teman yang dapat menolongmu disana. Sebelum pergi ke sana, kamu harus ke Baghdad. Temui saudaraku, Fahrudin, lalu tunjukan emblem ini, maka ia akan mengerti.” Sang guru memberikan emblem yang terbuat dari kayu padanya. Yusuf hanya bisa mengangguk.

♦ ♦ ♦

            Sesampainya di Baghdad, ia bertemu saudara gurunya, Syeikh Fahrudin al Qudsi. Syeikh mengajaknya ke rumah beliau yang sederhana. Kemudian Yusuf menyerahkan emblem pemberian gurunya itu pada Syeikh. “Katalis!” teriak Syeikh, kaget melihat benda itu. Katalis ? Yusuf memikirkan perkataan Syeikh. Beliau mengangguk sambil memegang janggutnya yang lumayan panjang. Tak lama, Syeikh meminta emblem tersebut dan pergi. Sebelum itu, Syeikh mengatakan bahwa ia boleh berkeliling menyaksikan keindahan kota. Yusuf pun berjalan keluar.
            Kota ini tak jauh berbeda dengan kotanya. Ia tak merasa asing disini. Ketika ia melintasi sebuah gang sempit yang gelap, ia melihat seorang anak kecil dipojokkan oleh tiga preman. “Mana uangmu?” tanya salah satu preman dengan kasar. “Tidak ada,” jawab si anak dangan gemetar. “Jangan banyak ala...” Ucapan si preman terhenti seketika saat sebuah tinju mendarat tepat di wajahnya. Yusuf merasa sakit karena sudah lama ia tidak memukul seseorang. “Maaf, tidak sengaja,” kata Yusuf. Preman – preman itu tersulut emosi dan mulai memukuli Yusuf dengan gencar. Sang anak kecil terduduk ketakutan sementara Yusuf menahan rasa sakit yang terus dilimpahkan padanya. “Makanya jangan sok pahlawan. Rasakan akibatnya,” ejek salah satu preman saat mereka berhenti memukuli Yusuf.
            Saat preman ingin beranjak pergi, Yusuf bangkit dengan sempoyongan. Tiba tiba, matanya bersinar terang. Ia mengucapkan sesuatu seperti orang kesurupan. “Hidupku adalah hikmah, matiku adalah anugerah, La tahzan innallaha ma ana” Kemudian sebuah lingkaran cahaya terbentuk di sekitar tubuhnya. Angin berhembus sangat kencang sampai  ketiga preman itu terpelanting beberapa meter. Karena ketakutan, ketiganya dan si anak lari terbirit – birit. Seketika ledakan cahaya menyinari gelapnya malam. Yusuf menghilang dari tempatnya. Kebangkitan itu diterasakan orang lain di belahan dunia yang berbeda.

♦ ♦ ♦

            Di reruntuhan Masjid Agung Samarkand, Yusuf menyadari dirinya telah berpindah tempat. Kemudian muncul lingkaran cahaya di dekatnya. Dari sana, terlihat sesosok lelaki Arab yang gagah dengan janggut panjang, mengenakan baju zirah khas Turki dan sorban di kepalanya. Lelaki tersebut mendekati Yusuf hingga tersisa dua langkah jarak darinya. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” salam sang lelaki. “Waalaikumsalam  warahmatullahi wabarakatuh” jawab Yusuf.
            “Jadi, kau pendampingku?Siapa namamu?”
            “Yusuf bin Mahmud”
            “Nama yang bagus. Perkenalkan namaku Sultan Harun Ar-Rasyid. Salam kenal Yusuf."



♦ ♦ ♦

            indahnya langit malam tidak memalingkan pandangan Yusuf yang keheranan. “Engkau Sultan Harun Ar-Rasyid, Khalifah Dinasti Abbasiyah?” tanya Yusuf. “Ya itulah aku. Ternyata kau tahu banyak tentangku,” ujar Sultan yang mulai memutari Yusuf karena ia tahu akan ada pertanyaan – pertanyaan yang akan keluar dari mulut pendampingnya itu.
            “Mengapa engkau disini? Bukankah engkau telah lama wafat?”
            “Aku ada disini karena aku terpilih menjadi salah satu diantara Arwah Pahlawan, sedangkan kau terpilih menjadi pendampingku sebab Arwah Pahlawan tidak dapat mempertahankan wujudnya tanpa adanya pendamping. Arwah Pahlawan akan saling bertarung satu sama lain dalam Perang Tanpa Batas. Perang ini terjadi antara kebaikan dan kebatilan. Kau benar bahwa aku telah wafat, tetapi ruhku tetap disini karena Yaumul Mahsyar belum terjadi. Oleh karenanya, aku bisa muncul di hadapanmu, di hari yang insyaallah dirahmati-Nya ini.”
            “Arwah Pahlawan? Perang Tanpa Batas?Aku tidak mengerti”
            “Biarkan mengalir, nanti pasti kau temukan muaranya.”
            Ketika Yusuf ingin melanjutkan pertanyaan, sebuah tepukan mengejutkannya. Syeikh Fahrudin muncul di belakangnya sambil membawa mobil antik kesayangannya. Syeikh bertanya mengapa Yusuf bisa berada disini. Yusuf tidak menjawab karena ia tidak tahu alasannya. Ia mencari Sultan yang hilang entah kemana. Syeikh mengajak Yusuf pulang, mengatakan bahwa murid kakaknya itu mengantuk dan kelelahan.  Dimanakah batang hidungmu wahai Sultan? Pikir Yusuf yang masuk ke mobil dengan pasrah. Suara Sultan terdengar dan anehnya Syeikh tidak menyadarinya. “Jangan takut, Allah ada di sisi kita. Aku mohon supaya kau tidak menceritakan diriku pada orang lain karena akibatnya fatal. Kau harus lebih kuat menjaga daripada bumi.” Yusuf mengangguk pelan tidak memperhatikan Syeikh Fahrudin yang sedang terkekeh. “Sinkronisasi selesai, pasti kakak bangga padaku,” gumam Syeikh yang mengendarai mobilnya menuju kota.

♦ ♦ ♦

            Yusuf pergi ke Indonesia menggunakan Garuda. Indonesia adalah destinasi terjauh yang pernah ia tuju. Negeri ini adalah surga yang turun ke dunia. Yusuf terpana oleh hijaunya daerah Singosari, Jawa Timur yang baru ia singgahi untuk dapat bertemu dengan teman sang guru. Syeikh Siraj memperkenalkan dirinya pada Yusuf. Beliau telah menjadi teman karib sang guru sejak umur tujuh belas tahun. Syeikh pindah ke Indonesia karena orang tuanya bekerja disini. Syeikh mengajak Yusuf beristirahat setelah perjalanan panjang. Namun, Yusuf menolak dan memilih untuk berkeliling desa. Syeikh tidak bisa melarangnya dan kemudian memperbolehkannya pergi. Yusuf senang karena ini pertama kalinya ia melihat hamparan padi bak permadani secara langsung.
            Sultan muncul disampingnya. “Masyaallah, sungguh indah alam ini. Sebuah tanda kebesaran-Nya yang dilimpahkan pada negeri yang dikehendaki. Ingatlah untuk selalu bertasbih dan bertahmid akan rezeki yang diberikan Allah Swt. padamu dan jangan serakah. Sifat tamak adalah penghambaan selama – lamanya.”

♦ ♦ ♦

            Sebelum Yusuf dapat bersekolah disini, ia harus melewati masa adaptasi. Selama waktu inilah Sultan mengajari Yusuf dengan ilmunya baik seni perang, politik, beladiri, agama, dan sebagainya. Kegiatan itu dilakukan secara diam – diam meski Syeikh Siraj tetap mengetahuinya. “Musuh akan selalu mengintai. Bersiagalah karena Arwah Pahlawan lain tidak akan tinggal diam. Barangsiapa takut terhadap serigala maka persiapkanlah anjing,” ujar Sultan setiap kali memulai pelajaran. Yusuf terus mengasah dirinya untuk berjaga – jaga tetapi ia selalu memikirkan alasan ia terlibat dalam perang ini. Sesaat Yusuf ingin menanyakannya, meski pada akhirnya ia berlapang dada menerima nasib yang mendatanginya.

♦ ♦ ♦
           
            Sudah tujuh bulan berlalu semenjak hijrahnya tanah Pertiwi. Yusuf mulai menikmati waktunya disini. Teman – teman yang baik selalu mendampinginya bekerja di ladang Syeikh Siraj. Lambaian daun kelapa dan bisikan angin lembut mewarnai kehidupannya yang sementara. Kedamaian dirasakanya sampai akhirnya ia tidak menyadari ancaman yang datang.

♦ ♦ ♦

            “Tidak!!!” teriak Yusuf yang terbangun dari mimpi buruk. Sultan langsung bersiaga. “Ada apa nak?” tanya Sultan.
            “Maaf, hanya mimpi buruk.” Mimpi yang sama tentang hancurnya kota Singasari oleh kobaran api.
            “Ini sudah keempat kalinya selama minggu ini. Apakah ini firasat bahwa bahaya sudah begitu dekat?” Yusuf menghiraukan ucapan Sultan. Ia pergi ke kamar mandi untuk berwudhu, meminta perlindungan-Nya dari segala malapetaka. Tiba – tiba sultan memanggilnya untuk keluar dari rumah. Yusuf berlari ke teras dan menemukan pemandangan ganjil. Langit membara di atas Gunung Bromo.
            Kebakaran. Yusuf mencari Syeikh namun tak ditemukan. Setelah teringat Syeikh pergi ke Jawa Tengah menghadiri acara, Yusuf berlari ke arah gunung itu.
            “Hei kau ingin kemana?” tanya Sultan
            “Kesana, kemana lagi.”
            “Dengan berlari? Memang jaraknya dekat?”
            “bagaimana lagi?”
            “Dasar anak muda” Sultan menyentil dahi Yusuf. Ia menyernyit sambil mengusap dahinya yang sakit. Kemudian Sultan memegang tangan Yusuf dan membawanya dengan teleportasi ke kaki gunung. Ternyata kekuatan ini miliknya. Otak Yusuf menampilkan kembali memori perpindahannya dari gang sempit di Baghdad ke reruntuhan Masjid Agung Samarkand.

♦ ♦ ♦

            ketika sampai di Lautan Pasir, mereka tercengang. Sebuah bola api besar melubangi udara sehingga nampak seperti  kilauan tanda kebakaran besar. Tiba – tiba bola api itu jatuh ke arah mereka. Beruntung Sultan dapat menyelamatkan mereka berdua. Beberapa selang waktu, terlihat dua orang. Pria dan remaja. Sang pria berpakaian seperti laksamana Eropa, lengkap dengan pistol musket dan pedang pendek di pinggangnya. Sementara si remaja berbadan gemuk, tersenyum bengis mengintimidasi Sultan dan Yusuf.
            “Siapa kalian?” teriak Yusuf
            “Siapa kami? Biarku jelaskan, namaku John Silverstein dan dia sang Marsekal Besi, Jenderal Guntur, Herman William Daendels.”
            “Apa tujuanmu kemari?”
            “BERSENANG – SENANG”
            Daendels menerjang Sultan. Sang  musuh dapat menangkisnya dengan baik. Ia mencoba menyerang balik. Tetapi, Daendels mundur beberapa meter sehingga serangan itu hanya mengenai udara kosong. Kemudian Sultan menghampiri Yusuf. Sebuah panah dan busur diberikan kepada pendampingnya itu. “Ini adalah senjata pusaka yang hanya bisa digunakan sekali per pertempuran. Sebelum menembak, ucapkan La ilaha illallah Muhammadur rasullullah, maka senjata ini akan mengincar sasaran meski ia menghindari bagaimana pun caranya. Oleh karena itu, gunakan dengan bijak.” Lalu, Sultan membuat penghalang agar Yusuf tetap di tempat dan tidak ada yang bisa menyentuhnya.
            “Apa kau sudah selesai dengan urusanmu?” tanya Daendels dengan ketus.
            “Tenang, Tuan. Urusanku denganmu baru saja dimulai.”
            Sultan menarik sebilah pedang scimitar yang tercipta di pinggangnya. Ia mengayunkannya dengan teratur seolah melakukan pemanasan, meski seni pedang bukan keahlian terbaiknya. Kemudian Sultan berlari secepat angin, menyambar Daendels dengan pedangnya. Trang. Bilahnya terhentikan oleh pistol sang marsekal. Sultan memutar tubuhnya dan melayangkan tendangannya. Sayangnya tendangan itu, dapat dihalau oleh Daendels. Sang marsekal menangkap kaki musuhnya. Melemparkan tubuh lelaki Arab itu ke udara. Lalu ia menembakkan bola api yang ternyata adalah amunisi senapannya. Ledakan besar menyapu langit. Meninggalkan lubang besar di pasir vulkanik Bromo. Keputusasaan Yusuf tampak saat melihat Arwah Pahlawannya jatuh menghantam bumi. “Jangan takut, Allah bersama kita.” Suara Sultan menggema bersamaan dengan bangkit tubuhnya. Ia tersenyum. Bagaikan mengetahui akhir dari pertarungan ini.
            “Yusuf, siapkan busurmu!!! Aku ada rencana”
            “penghalangnya!!!”
            “Maaf, aku lupa”
            Pelindung hancur berkeping – keping membebaskan Yusuf darinya. Tiba – tiba hujan bola api menyambutnya. Duarr.. Ledakan itu menghempaskan Yusuf ke tanah. Telinganya berdengung akibat suara ledakan yang memekakkan. Waktu mulai berjalan lambat. Gelak tawa John terdengar. Perlahan pandangannya mengabur dan semua menjadi hitam.

♦ ♦ ♦

            Dimanakah aku? Apa aku sedang bermimpi? Pikir Yusuf ketika melihat padang pasir luas membentang di hadapannya. Dari kejauhan terlihat sosok lelaki yang dikenalnya datang menghampiri. Gurunya yang bijaksana melambaikan tangan. Ia mengucapkan salam dan dibalas Yusuf dengan segera.
            “Bagaimana kabarmu,guru? Apa kau baik – baik saja disana?”
            “Alhamdulillah. Maafkan aku karena tidak bisa membantumu dan melibatkanmu dalam perang ini”
            “Tidak apa, wahai guru. Ini adalah yang terbaik untukku. Akhirnya aku mengerti maksud dari ucapanmu dahulu.”
            Yusuf memeluk gurunya.”Terima kasih,” ucapnya. Sang guru membalas pelukan hangat murid semata wayangnya. “Sudah saatnya kita bersiap – siap,” ujar sang guru. Tak lama, satu per satu sosok muncul di belakang sang guru. Syeikh Siraj ada diantara mereka beserta Arwah Pahlawannya. Selesai berpelukan, sang guru mendekati rombongan itu. Berbalik menghadap Yusuf dengan merentangkan tangannya. “Kami semua adalah sahabatmu, saudaramu, dan keluargamu. Kami akan menolongmu sebanyak yang kami mampu. La tahzan innalaha ma ana” Ucapan sang guru membangunkan Yusuf pada kenyataan. Medan pertempuran telah berubah.

♦ ♦ ♦

            Kemarahan Sultan tergambar di matanya. Aura biru menyelubunginya dengan pekat dan mencekam. Kekuatan Sultan seperti bertambah berkali – kali lipat dari sebelumnya. Daendels mulai bergetar melihat raksasa yang tumbuh dalam diri musuhnya. “Boy, kita harus pergi dari sini. Kini keadaan tak lagi menguntungkan,” teriak Daendels pada sang pendamping. Tiba – tiba Sultan meluruskan tangannya ke depan seolah hendak menggenggam musuh – musuhnya. Lantunan kata keluar dari mulutnya. “Sungguh, Kami telah menyediakan bagi orang – orang kafir rantai, belenggu, dan neraka yang menyala – nyala.” Seketika muncul rantai emas, mengikat Daendels dan John. Lilitannya membekukan keduanya di tempat. “Tidak....Lepaskan saya!!” teriak keduanya memohon kebebasan.
            Kini, terdengar lagi suara Sultan. “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggetarkan musuh Allah, musuhmu.” Satu batalion pasukan berkuda keluar dari gerbang yang terbangun di belakang Sultan. Berbaris rapi menunggu instruksi selanjutnya.

♦ ♦ ♦

            Kemudian rangkaian kata menggema. “Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi manusia.” Panah perak tercipta di tangan setiap pasukan. Lalu mereka memasangkannya pada busur, menyiapkan hujan logam yang tertuju pada musuh.
            Yusuf tercengang melihat keadaan yang kian mengerikan. 'Aku tahu apa yang harus kulakukan.' Yusuf mengisi busurnya, mengarahkannya pada Daendels. Pasti dengan terbunuhnya Arwah Pahlawan akan menyelamatkan pendampinya dari kematian. Keyakinan meledak dalam diri Yusuf.”Asyhadu alla ilaha illallah Muhammadur rasulullah.” Anak panah melesat hebat sebelum Sultan memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Panah tersebut tepat mengenai tubuh prajurit Eropa itu. Gelombang kejut terbentuk, mulai menghancurkan tubuh pria itu bagai pasir tertiup angin. Daendels berteriak kesakitan merasakan siksaan yang diberikan padanya. Tubuh Daendels lenyap tak berbekas.

♦ ♦ ♦

            Sultan baru menyadari bahwa Yusuf sudah siuman. Aura biru perlahan menghilang diikuti oleh pasukan kuda kemudian rantai emas. John berlari ketakutan meninggalkan medan pertempuran. Perasaan lega mulai menghinggapi. Pertarungan telah usai. Kemenangan menjadi milik Sultan Harun Ar-Rasyid dan Yusuf bin Mahmud.
            “Sungguh melelahkan. Baru pertama kalinya aku begadang selarut ini,” keluh Yusuf.
            “Sepertinya kau harus memperbaiki ucapanmu,” ujar Sultan meberitahukan kehadiran mentari mengusir kegelapan malam.
            “Gawat, aku belum sholat Shubuh. Ayo Sultan kita kembali ke rumah Syeikh!”
            “Kenapa tidak sholat disini saja?”
            “Dirimu masih pantas, sedangkan aku tidak dengan pakaian yang robek disana sini. Aku tidak ingin bertemu Allah dengan keadaan memalukan seperti ini.”
            “Baiklah. Sayangnya, seluruh energiku sudah terkuras habis. Jadi....”
            “Engkau tidak bisa mengantarkan kita pulang?”
            “Hehehehe...... Aku menggunakan terlalu banyak untuk dapat membuka Segel Kerajaan agar aku bisa meningkatkan kekuatanku.”
            “Apakah semua Arwah Pahlawan punya Segel Kerajaan?”
            “Ya, dengan nama dan jenis kekuatan yang berbeda satu sama lain. Di dunia yang penuh  kesurealisan dengan beban pekerjaan besar, banyak yang tidak kita ketahui. Selagi hidup dapat melihat yang ajaib.”
            Ilmu Yusuf masih terlalu dangkal tentang perang ini. Tunggu, ada yang tidak beres. Yusuf berhenti bergerak, merasakan singularitas di sekelilingnya.
            “Berapa pihak yang terlibat dalam perang ini?”
            “Biasanya tujuh Arwah Pahlawan. Salah satunya sudah kita kalahkan disini. Semua Arwah Pahlawan terpilih dari seluruh dunia sehingga akan cukup sulit menemukannya. Bahkan di negeri ini aku merasakan banyak kehadiran potensial. Mengapa kau bicara seperti itu?”
            Tidak, ini kesalahan. Aku melihat rombongan itu berjumlah empat belas Arwah Pahlawan dengan pendampingnya. Yusuf berpikir keras sampai menyadari sesuatu. Perang ini......... adalah Perang Tanpa Batas .........Terbesar yang pernah diadakan.

TAMAT....

Bagaimana? Seru bukan ceritanya? Ayo baca lagi koleksi cerpen milik Nanta dan temannya di bagian cerpen. Ga terlalu bagus sih, tapi lumayan untuk menghibur.

Oke... Sampai jumpa di cerpen berikutnya...

Salam Hangat,
Nanta

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »